Rabu, 30 April 2008

Susahnya hal yang sangat mudah

Pada fase-fase dimana seharusnya seorang laki-laki sudah mampu mencapai kapasitasnya untuk memahami betul tiap tindakan yang dilakukannya, beserta segala hal yang terkait konsekuensi, seperti fase yang sedang dijalani sekarang, aku masih saja berkutat pada permasalahan klasik ini. Disorientasi bersikap, bertingkah laku, berkeinginan. Janc*k!! Memang menyakitkan ketika kita sadar bahwa ternyata kita harus bertanggung jawab atas beberapa kesulitan yang menimpa banyak orang (ratusan kepala, cak!) "hanya" oleh karena beberapa steatment, arahan, omongan yang keluar dari mulut ini yang berlandaskan pada kebenaran-kebenaran yang relatif. Dan ternyata omongan ini dipakai sebagai acuan bertindak orang-orang itu. Di satu sisi, setan mengajarkan akan kepuasan tingkat tinggi pada saat aku menyadari aku cukup memiliki pengaruh
bagi orang-orang yang belum mandiri dalam ber perinsip. Disisi yang lain, hati kecil meletupkan rasa sakit ketika aku tidak dapat berbuat banyak saat sudut pandangku yang masih kerdil menimbulkan kesulitan bagi orang-orang yang menganutnya. Mbuh, aku ngomong opo...

Minggu, 27 April 2008

Kepada Adhek Tercinta

Dengan maksud awal ikut memberikan urun rembug, ijinkanlah penulis melalui tulisan ini sowan masuk ruang fikiran saudara - saudari sekalian yang mungkin sedang diliputi kegelisahan. Bagi saudara yang sedang tiada gelisah, penulis pun tiada memaksa Anda untuk jadi ikut – ikutan gelisah. Apalah daya penulis sehingga bisa membuka pintu hati jenis baru yang dari besi. Atau biarlah tulisan ini akan sediam-kosong fisiknya saja. Mboten nopo – nopo.

Seirama dengan musim hujan yang sampai sekarang belum kunjung berlalu, udara lembab penuh nuansa gundah-gulana datang di kampus ini. Walaupun sekali lagi, mungkin tidak banyak yang merasakan hal tersebut. Namun, paling tidak bagi kalangan yang pernah mendengar, melihat, atau bahkan menjalani sebagian momen – momen perjuangan untuk menjadikan institusi ini mencapai Gengsinya sebagaimana bisa dinikmati sekarang, kegundahan datang dengan bukan tanpa alasan. Seperti ketika secara berturut – turut beberapa peristiwa penting yang diselenggarakan oleh Jurusan, atau Otoritas resmi kemahasiswaan (baca: HMM, dan Ormawa Mesin) belakangan, ternyata berhasil berlalu dengan tidak banyak yang tahu! Atau maksud saya beberapa diantaranya harus batal, karena sepi. Ya, sepi!

Sebuah Jurusan yang dikenal sering kali menelorkan pemimpin – pemimpin berkualitas oleh karena buah pemikiran yang (dinilai) matang. Sebuah jurusan yang sering kali menjadi rujukan sikap bagi yang lain dalam memandang berbagai permasalahan. Sebuah Jurusan yang mampu menciptakan “Rezim” (Karena dominasi kepemimpinannya di Ormawa ITS). Sebuah jurusan dengan IPK kelulusan yang belum terlalu membanggakan namun hampir selalu memikat hati perusahaan bereputasi tinggi oleh karena kejujuran kualitasnya (silakan mengomentari yang ini). Sebuah Jurusan yang dibesarkan dengan Prinsip. Dan seterusnya. Dari semua yang menurut penulis sebuah fakta ini, rasanya hampir tidak ada sebuah logika yang mampu menerima bahwa ternyata Jurusan ini masih juga harus memiliki fase – fase suram kekeringan loyalitas, dan mungkin ketidakjelasan orientasi mahasiswanya seperti beberapa waktu terakhir. Pertanyaanya adalah, ini semua mengindikasikan apa?

Masih teringat jelas di benak penulis pada sebuah pepatah Jawa lama, yang berbunyi “Ojo dadi ngalamat, nanging dadio wong sing ngerti ngalamat”. Yang kurang lebih artinya “Janganlah menjadi pertanda, tapi jadilah orang yang mengerti akan pertanda”. Lha, sekarang ini Anda sendiri termasuk kualifikasi yang mana? Sulit untuk menjawab dengan bijak hal ini jika untuk diri sendiri. Karena penilaian yang paling bisa dipercaya, mungkin datangnya bukan dari kita sendiri. Lha wong fakta ternyata berbicara jelas, bahwa egoisme sudah sedemikian pekatnya mengalir di darah orang – orang yang fasih berbicara solidaritas atau loyalitas ini, dan akhirnya terakumulasi menjadi sebuah fenomena massal. Bukankah ini mengkhawatirkan ? Menggelisahkan ? Menyongsong era kadepan, ngalamat apa yang akan terjadi?

Di ujung narasi ini, atau apalah namanya, semoga bukan menjadi ujung perenungan kita masing – masing bersama. Jika memang nantinya buah pemikiran ini tetap diyakini bukan analisa yang relefan bagi kondisi kita secara pribadi, mau tidak mau ideologi lama ini harus diakui sudah obsolete. Diberikan kesempatan seluas - luasnya kepada yang muda untuk berbicara, berkreasi, dan memberikan warna baru, ideologi baru mungkin. Dengan beberapa kegagalan satu, dua, tiga, …., sampai entahlah, biasanya bisa menjadi penyadaran yang baik. Silakan membuat sejarah baru di tengah - tengah perangkat pembangun soft skill yang kian mapan (Konstitusi Dasar sudah jadi, fasilitas fisik lengkap, narasumber diskusi selalu siaga, dsb) seperti: Kepengurusan pending, Lompatan regenerasi, Disfungsi organisasi, kehilangan karakter, Facuum of power, atau kejadian fenomenal yang lain yang kesemuanya terdengar menarik untuk dicoba. Silakan mencoba.